Pages

Monday, November 22, 2010

Berdzikir dengan “Tasbih” Bolehkah? Bagaimana Kita Berdzikir?

Assalamualaikum, Bismillah,

Alhamdulillah, Allah telah beri petunjuk kepada saya setelah diteguh oleh seorang rakan kerja semalam tentang menggunakan tasbih untuk berdzikir dan bawah ini memberikan segala jawapan. Wallahu'alam. Semoga ia menjadi petunjuk kepada yang lain. Insya Allah.

Sekilas Tentang Tasbih
Berdzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan petunjuk dengan cara yang paling mudah yang dapat dilakukan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Demikianlah yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, dan awal generasi yang setelah mereka. Lalu orang-orang yang datang setelah mereka beranggapan bahwa berdzikir hanya sebanyak hitungan ruas-ruas jari tidak cukup. Berdzikir dalam jumlah yang banyak tidak dapat dilakukan melainkan harus dihitung dengan sesuatu seperti batu kerikil atau biji-bijian, menurut mereka.

Tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).

Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan(2) bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam. Ia hanya perkara baru dalam agama (Islam). Biji tasbih adalah alat bantu ibadahnya orang Buddha dan menjadi ciri khusus agama mereka saat itu. Lalu biji tasbih dipakai orang Hindu di India oleh sekte wisnu atau siwa, kemudian juga dipakai oleh orang-orang Nasrani khususnya para pendeta dan rahib-rahibnya, setelah itu berkembang ke sebelah barat Asia. Agama Buddha terpecah menjadi dua aqidah (keyakinan): Mahayana dan Hinayana. Mahayana tersebar di sebagian besar Asia utara seperti Nepal, Tibet, Cina, Jepang, Mongol, Korea, dan lainnya. Sedangkan Hinayana banyak tersebar di Asia Selatan seperti India bagian selatan, Bangladesh, Burma (Myanmar), dan lainnya. Tatkala agama Nasrani muncul, barulah para pendetanya menggunakan biji tasbih ini untuk ibadah mereka. Adapun kaum muslimin maka tidak mengenal biji tasbih ini, kecuali orang-orang muslim yang tidak mengetahui asal usulnya mengambil cara agama lain untuk ibadah mereka.

Sendainya hadits-hadits tersebut dianggap sah(3) , justru yang lebih tampak dari kisah-kisah itu menunjukkan bahwa Rosululloh mengingkari kerikil dan biji-biji tasbih yang digunakan untuk berdzikir dan beliau memberi petunjuk yang lebih afdhol, lebih bagus, lebih sempurna, dan lebih mudah. Dan perkataan “lebih afdhol” atau “lebih bagus” bukan berarti kerikil atau biji tasbih dibolehkan, tetapi justru selain ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya hukumnya dilarang, sebagaimana firman Alloh:

(…. آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩
…. Apakah Alloh yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia? (QS. an-Naml [27]: 59)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Alloh itu lebih bagus daripada sekutu-sekutu selain-Nya, dan bukan berarti sekutu-sekutu itu juga bagus dan dibolehkan (untuk disembah). (Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 11)

Makna Tasbih
“Biji tasbih” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah السُّبْحَةَ , atau مِسْبَحَةٌ , atau مَسَابِيْحُ , atau تَسَابِيْحُ , tetapi pemakaian makna ini hanya menurut kebiasaan yang berjalan saja (4).

Adapun kata السُّبْحَةَ atau التَّسْبِيْحُ dalam hadits-hadits yang shohih maknanya bukan biji tasbih melainkan sholat sunnah, sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ayahnya mengabarinya:

أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِى السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ
Bahwa beliau pernah melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat sunnah pada malam hari ketika sedang safar di atas kendaraan menghadap ke arah perjalanannya. (HR. al-Bukhori: 1104)

Dzikir Ada Dua Macam
Berdzikir adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diperintahkan. Dzikir terbagi menjadi dua macam:

1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini tidak boleh (5)dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya.

Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. al-Ahzab [33]: 41)

Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Alloh adalah menambah syari’at Alloh. Alloh tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Alloh. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu (6).

2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir yang dianjurkan supaya dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali, sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ قَالَ “سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ” فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barang siapa mengucapkan Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042 dan Muslim: 2691)

Berdzikir Disyari’atkan untuk Menggunakan Ruas-Ruas Jari atau Ujung-Ujungnya

Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:

وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
Makna اْلأَنَامِلُ
Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).
Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.

Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.

Dari keterangan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan inilah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya.

Sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam Mengingkari Biji Tasbih
Para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka selalu melakukan yang terbaik buat diri dan agama mereka. Oleh karena itu, tatkala menjumpai satu penyimpangan dalam bentuk ibadah mereka segera mengingkarinya. Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu menjumpai kaum muslimin berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2005)

Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah
Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;
1. Hadits palsu yang disandarkan pada Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:

نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ

“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi.”

Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Author: 2/166-167.

Keterangan:
Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU (7), dikarenakan beberapa sebab:

•Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.

•Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi (14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah melemahkannya.”

•Hadits ini secara makna juga batil karena beberapa perkara (8):

a. Biji tasbih termasuk perkara baru, tidak pernah digunakan pada zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Munculnya biji tasbih ini setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli bahasa Arab yang mengatakan:

إِنَّ لَفْظَةَ السَّبْحَةِ مُوَلَّدَةٌ لاَ تَعْرِفُهَا الْعَرَبُ

“Sesungguhnya kata subhah (biji tasbih) adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh orang Arab).”

b. Hadits di atas menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir.

Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata: “Aku melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1346)

Demikian pula bertentangan dengan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir, beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

2. Hadits palsu yang disandarkan pada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:

كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

“Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.”

Takhrij hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68, dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Keterangan:
Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.

Imam adz-Dzahabi—dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.”

Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.”

Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.”

Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”

3. Hadits Shofiyah bintu Huyay istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (10), beliau berkata:

:دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ
أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: ‘(Biji kurma) ini kupakai untuk bertasbih.’ Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini.’ Aku berkata: ‘Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rosululloh!’ Beliau bersabda: ‘Ucapkan

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

(Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”

Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shofiyah dari Shofiyah.

Keterangan:
Hadits ini DHO’IF/LEMAH (11), didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.”

Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.”

Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”

Demikian juga salah satu rowi hadits ini bernama Kinanah, dia rowi yang majhul (tidak dikenal), tidak ada yang menyatakan dia terpercaya kecuali Ibnu Hibban. Akan tetapi, terdapat penguat lain meriwayatkan dari Kinanah seperti Zuhair, Hudaij (keduanya putra Mu’awiyah), Muhammad bin Tholhah bin Mushorrif, dan Sa’dan bin Basyir al-Juhani, empat orang tersebut semuanya terpercaya ditambah lagi riwayat Yazid al-Bahili hanya beliau dinyatakan terpercaya oleh beberapa ulama dan dinyatakan dho’if oleh yang lainnya. Oleh karena itu, cacat hadits ini hanyalah pada Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang majhul (tidak dikenal) sehingga hadits ini dho’if, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Jika anda memerlukan lebih maklumat, sila ke http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/02/berdzikir-dengan-%E2%80%9Ctasbih%E2%80%9D-bolehkah/

Insya Allah, jika kita inginkan kepastian, kita tidak berputus asa mencari nya.

0 comments: